
Manusia adalah musuh dari apa yang tidak ia ketahui.
Ungkapan ini singkat dalam kata-kata tetapi kaya akan makna, dan dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib. Makna dari ungkapan ini adalah bahwa manusia membenci sesuatu dan menganggapnya sebagai musuh karena ketidaktahuannya terhadap hal tersebut. Ketidaktahuan bisa menyebabkan seseorang berada dalam situasi yang sulit.
Saya ingat satu peristiwa yang membuktikan kebenaran ungkapan ini: Saya ingin masuk ke jurusan Pendidikan Bahasa Arab(pba) karena tujuan saya dalam belajar adalah menjadi ahli dalam bahasa Arab. Namun, takdir Allah menentukan lain, dan akhirnya saya terpaksa masuk ke jurusan Dakwah dan Ilmu Komunikas(kpi)i. Awalnya, saya sangat membenci jurusan ini, dan setelah pengumuman, saya merasa sempit dan kesal, seolah-olah bumi yang luas terasa sempit bagi saya, seperti yang digambarkan Allah dalam firman-Nya tentang ka’ab bin Malik dan dua sahabatnya setelah mereka tertinggal:
وَّعَلَى الثَّلٰثَةِ الَّذِيْنَ خُلِّفُوْاۗ حَتّٰٓى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ اَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوْٓا اَنْ لَّا مَلْجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّآ اِلَيْهِۗ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوْبُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ ࣖ ١١٨
. dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.(118)
Saya berkata kepada diri sendiri: Mengapa saya harus masuk ke jurusan ini? Saya mencoba menerima keadaan ini, dan setelah beberapa waktu, saya mulai merasa puas, bahkan lebih dari itu, saya bersyukur kepada Allah (karena syukur lebih tinggi daripada sekadar menerima). Sampai-sampai saya berkata: Jurusan ini lebih baik untukku, dan saya mulai merasa senang karenanya. Saya tidak berlebihan jika mengatakan, setelah mengambil pelajaran dari pengalaman ini: “Manusia adalah musuh dari apa yang tidak ia ketahui,” artinya Anda membenci sesuatu karena Anda tidak mengetahui hakikatnya, dan jika Anda mengetahuinya, Anda akan merasa senang karenanya.
Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib atau Rasulullah ﷺ pernah berkata:
Bencilah musuhmu dengan kebencian yang ringan, karena mungkin suatu hari ia akan menjadi kekasihmu.”
Artinya, bencilah musuhmu dengan kebencian yang sederhana, karena suatu saat Anda mungkin akan mencintainya. Terkadang kebaikannya tersembunyi dari kita, dan keburukannya yang terlihat. Maka, ambillah pelajaran.
Imam Ibnul Jauzi dalam kitabnya “Zad al-Masir fi Ilmi at-Tafsir” meriwayatkan bahwa Sufyan bin Uyainah berkata:
“Orang-orang mengatakan: Manusia adalah musuh dari apa yang tidak ia ketahui, dan ini berasal dari Kitabullah.”
Lalu ada yang bertanya kepadanya: Di mana hal itu disebutkan?
Dia menjawab: Dalam Surah Yunus:
بَلْ كَذَّبُوْا بِمَا لَمْ يُحِيْطُوْا بِعِلْمِهٖ وَلَمَّا يَأْتِهِمْ تَأْوِيْلُهٗۗ كَذٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظّٰلِمِيْنَ ٣٩
Bahkan (yang sebenarnya), mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna dan belum mereka peroleh penjelasannya. Demikianlah halnya umat-umat yang ada sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang yang zalim(39)
Maksudnya, mereka mengingkari Al-Qur’an karena mereka tidak membacanya dan tidak memahaminya, sehingga mereka tidak mendapatkan hidayah. Ini adalah yang kita sebutkan secara umum, dan tidak perlu memperhatikan pengecualian yang jarang terjadi. Kisah ini memberikan beberapa faidah (pelajaran) yang berharga, di antaranya:
- Ketidaktahuan Menyebabkan Kebencian: Ungkapan “Manusia adalah musuh dari apa yang tidak ia ketahui” mengajarkan bahwa kebencian atau ketidaksukaan seseorang terhadap sesuatu seringkali berasal dari ketidaktahuan. Ketika seseorang tidak memahami atau tidak mengenal sesuatu dengan baik, ia cenderung menolak atau membencinya. Namun, ketika ia mulai memahami dan mengenalinya, persepsinya bisa berubah.
- Pentingnya Bersabar dan Menerima Takdir: Kisah ini menunjukkan betapa pentingnya bersabar dan menerima takdir Allah, meskipun awalnya terasa berat. Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak diinginkan, ia mungkin merasa kecewa atau tertekan. Namun, dengan kesabaran dan usaha untuk memahami, ia bisa menemukan hikmah dan kebaikan di baliknya.
- Syukur Lebih Tinggi daripada Sekadar Menerima: Kisah ini mengajarkan bahwa syukur adalah tingkat yang lebih tinggi dari pada sekedar menerima. Ketika seseorang bersyukur, ia tidak hanya menerima keadaan, tetapi juga melihat kebaikan dan manfaat di dalamnya. Ini membawa ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup.
- Kebencian yang tidak berlebihan: Pesan dari Ali bin Abi Thalib atau Rasulullah ﷺ untuk “membenci musuh dengan kebencian yang tida berlebihan” mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru dalam menilai atau membenci sesuatu. Ada kemungkinan bahwa apa yang kita benci hari ini bisa menjadi sesuatu yang kita cintai di masa depan.
- Hikmah dari Al-Qur’an: Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari Al-Qur’an. Seperti yang disebutkan dalam Surah Yunus, ketidaktahuan bisa menyebabkan penolakan atau pengingkaran terhadap kebenaran. Oleh karena itu, penting untuk selalu mencari ilmu dan memahami sesuatu sebelum menilainya.
- Perubahan Persepsi: Pengalaman penulis yang awalnya membenci jurusan Dakwah dan Ilmu Komunikasi, tetapi kemudian merasa bersyukur dan bahkan mencintainya, menunjukkan bahwa persepsi kita bisa berubah seiring waktu. Ini mengajarkan kita untuk tidak terpaku pada pandangan awal, tetapi selalu terbuka untuk perubahan dan pembelajaran.
Mudah-mudahan dengan memahami faidah-faidah ini, kita bisa lebih bijaksana dalam menghadapi berbagai situasi hidup, lebih sabar, dan selalu berusaha untuk melihat kebaikan di balik setiap kejadian.
Penulis: Mukhamad Daffa, Mahasiswa STIBA A Raayah